Sosial Media: Surveillance dan Privasi (Bagian I: Sosial Media)

Mengapa Sosial Media Tidak Bisa Terlepas Dari Masyarakat

Pertanyaan yang belakangan ini sering muncul ke permukaan adalah, mengapa sosial media tidak bisa lepas dari masyarakat sekarang?  Sudah tidak dapat dibantah lagi pernyataan bahwa “Knowledge is Power” atau “Ilmu pengetahuan adalah kekuatan”, dan tidak pula bisa dibantah bahwa kini sosial media adalah sebuah sumber yang tidak terbatas bagi ilmu pengetahuan. Layaknya kebutuhan manusia terhadap ilmu pengetahuan, sosial media juga telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat. Di samping itu, sosial media sudah terlanjur terlalu jauh ikut campur dalam kultur, perekonomian, serta cara-cara pandang lain manusia terhadap dunia luar. Sosial media adalah wadah baru, di mana di sana orang-orang dapat berkumpul dan bertukar pikiran, berkoneksi, berelasi, meminta pendapat, atau memberikannya. Sosial media juga menawarkan kemudahan untuk bertemu dengan orang-orang dengan minat dan pola pikir yang sama di mana kenyamanan ini sulit dicari dengan berkomunikasi secara konvensional. Ketidakterbatasan sosial media dalam memberikan informasi menghilangkan penghalang komunikasi akibat keterbatasan ruang. Dengan adanya kemudahan dan kenyamanan ini, apakah ada alasan bagi manusia untuk tidak beketergantungan?

Efek Sosial Media pada Masyarakat

Walau tidak dapat dipungkiri banyak sekali manfaat yang diberikan sosial media, seperti “mempersilahkan“ menembus batas internasional maupun batasan-batasan budaya, ada pula konsekuensi yang harus dibayar. Hubungan virtual melalui sosial media telah menggantikan komunikasi secara fisik dan emosional dengan satu sama lain. Sosial media juga merebut kontrol pengguna atas dirinya sendiri di mana kebanyakan pengguna sudah tidak lagi memikirkan apa saja dampak dari perbuatannya bila sudah lelap dalam ber-sosial media ria (Campbell, Marilyn, 2005).

Ironisnya, sosial media telah menjadikan kita sebagai generasi paling anti sosial. Kita (Manusia) lebih memilih untuk berkomunikasi lewat aplikasi messenger, video chat untuk komunikasi tatap muka, dan jenis-jenis komunikasi lainnya melalui sosial media, daripada harus berkomunikasi secara langsung. Dalam artikelnya “How Not to Be Alone”, Jonathan Safran Foer menulis “Each step forward in social media has made it easier, just a little, to avod the emotional of being present, to convey information rather than humanity.” Di mana pernyataannya ini makin terbukti kebenarannya dari hari ke hari, bahwa komunikasi sekarang hanyalah sekedar menyampaikan informasi dengan melupakan esensi emosional dari berkomunikasi itu sendiri.

Berdasarkan beberapa artikel dan penelitian dapat disimpulkan dan digarisbesarkan bahwa dampak negatif dari sosial media terdiri atas 3 kelompok. Pertama, pertemanan palsu yang ada pada sosial media yang berbuntut pada permasalahan psikologis. Dampak yang kedua, adalah kemampuan sosial media dalam membuat penggunanya teradiksi dan jauh dari orang sekitarnya, yang menjadi penyebab tumbuhnya sifat anti sosial. Terakhir, sosial media telah menjadi alat bagi kriminal, predator, maupun teroris dalam menjalankan aksi ilegalnya. Namun, yang lebih ditekankan pada bagian selanjutnya adalah hubungan sosial media terhadap munculnya isu psikologis.

Sosial Media dan Isu Psikologis

Berikut ini akan ditampilkan bagaimana sosial media dapat menjadi pemicu dari isu – isu psikologis modern. Sangat jelas bahwa sosial media memiliki dampak negatif secara personal, yang memungkinkan para remaja untuk lebih menganalisis diri mereka sebagaimana masalah mereka.

Facebook Depression

Beberapa peneliti telah menemukan suatu fenomena bernama Facebook Depression, hal ini didefinisikan sebagai depresi yang muncul ketika pengguna telah berada dalam sosial media, seperti facebook, dengan durasi waktu yang sangat lama sehingga dapat memunculkan depresi dalam diri mereka. Mencari penerimaan dalam masyarakat dan berusaha tetap terkoneksi dengan sesama adalah elemen penting dalam kehidupan sosial, di mana hal itu dapat memicu depresi karena intensitas dan konstannya dunia online itu sendiri (Jacobs, 2014).

Facebook sebagai contoh, adalah tempat di mana orang-orang bisa menceritakan keluh-kesahnya disana. Hal atau masalah yang mereka keluh-kesahkan itu juga bisa direpetisi terus menerus, dimana hal itu membuat mereka sulit untuk move on dari masalah tersebut dan berkelanjutan menjadi sebuah depresi. Selain itu, apapun yang telah mereka sebar di dunia online bisa jadi tidak dapat ditarik kembali; walau unggahan itu sudah dihapus tapi masih dapat ditemukan di tempat lain, atau tersimpan sebagai screenshot dan tersimpan di perangkat lain, mengantarkan si pengirim menuju depresi dan kekhawatiran yang berlebihan (Starr, Lisa, 2009).

Social Media and Anxiety

Sebuah survey yang dilakukan kepada 7000 ibu, ditemukan bahwa  42% dari mereka yang menggunakan situs berbagi gambar, seperti Pinterest, mengalami stress (O’keffe, 2011). Bagaimana cara sosial media dapat menimbulkan stress atau depresi? Terjaga secara konstan dalam menunggu pesan masuk dalam sosial media, dalam sistem tubuh dianggap sama dengan orang yang terjaga ketakutan atas serangan predator, dimana saat hal itu terjad stress hormone cortisol dalam tubuh dilepaskan (Jacob, 2014).

Efek samping lain dari sosial media adalah false intimacy. Kebanyak konten dari sosial media menunjukkan kebahagiaan dan kesuksesan orang-orang, namun sedikit sekali dari konten tersebut yang menunjukkan sulitnya mencapai kebahagiaan tersebut. Untuk menyesuaikannya, pengguna yang melihatnya akan berusaha memosisikan dirinya sesempurna dan sebahagia mungkin, karena hal itu yang orang-orang lain lakukan. Sebagai hasilnya, profil dari pengguna tersebut merefleksikan bagaimana dia ingin dipersepsikan, bukan gambaran jujur tentang dirinya apa adanya.

 

Referensi

  1. Campbell, Marilyn (2005). Cyber bullying: An old problem in a new guise? Australian Journal of Guidance and Counseling, Australian Academic Press, 2005, 76.
  2. Jacobs, Tom; The Link Between Depression and Terrorism; SEP 29, 2014 http://books-andculture/antidepressants-depression-terrorism-weapon
  3. O’keeffe, G. S., and K. Clarke-Pearson. “The Impact of Social Media on Children, Adolescents, and” Pediatrics, 2011, 800-04
  4. Starr, Lisa; Davilla, Joanne Dr. ; Excessive Discussion Of Problems Between Adolescent Friends May Lead To Depression And Anxiety. Stony Brook University . January 27, 2009.

Bagian ini ditulis atas bantuan dari Adam Firdaus Rayhan (instagram; medium)

Akan bersambung ke artikel berikutnya: Sosial Media: Surveillance dan Privasi (Bagian II–Surveillance)

3 tanggapan untuk “Sosial Media: Surveillance dan Privasi (Bagian I: Sosial Media)

    1. Media sosial memang bagai pedang bermata dua. Bisa mendekatkan kawan lama, tapi malah menjauhkan keluarga sendiri.

      Semoga kita lebih bijak dalam “bermain” sosial media. 🙂

      Suka

Tinggalkan komentar