Mempersoalkan Hypersanity: Aeon Commentary

Esai ini adalah sebuah komentar terhadap artikel berjudul The hypersane are among us, if only we are prepared to look, karya Neel Burton yang diterbitkan di Aeon pada tahun 2019

Sanity (kewarasan) adalah sebuah istilah legal buat merujuk kepada kompetensi. Orang yang “insane” (gila) berarti tidak dapat melakukan beberapa kompetensi untuk berfungsi normal, contohnya: tidak bisa makan sendiri, mandi sendiri, memakai baju, merawat diri, melakukan kegiatan sehari untuk sintas, dll.

Sering kali (dan hampir selalu) objek referensi dari istilah sanity overlap dengan psikiatri. Akan tetapi, istilah sanity tetap harus dimaknai dalam konteks awalnya: hukum. Makanya ga baik dan memang tidak boleh menyebut seseorang yang memiliki penyakit mental dengan gila, karena sudah beda ranah.

Oke, kita masuk ke artikel. Hypersanity, menurut saya kurang tepat untuk didefinisikan seperti yang Burton (2019) katakan:

Jung and Diogenes came across as insane by the standards of their day. But both men had a depth and acuteness of vision that their contemporaries lacked, and that enabled them to see through their facades of ‘sanity’. Both psychosis and hypersanity place us outside society, making us seem ‘mad’ to the mainstream. Both states attract a heady mixture of fear and fascination. But whereas mental disorder is distressing and disabling, hypersanity is liberating and empowering.

Neel Burton, 2019

Jika kita tarik beberapa kata: “Terlampau ‘waras’ sehingga menjadi ‘gila’ di mata masyarakat.” Permasalahnnya di sini, apakah bisa seseorang menjadi terlampau waras? Merujuk dari apa yang Burton jelaskan, hyper-sanity agaknya lebih mirip—dan mungkin sama persis—degan definisi orang bijak atau tercerahkan. Secara tidak langsung, Burton menempatkan orang bijak di spektrum kanan orang waras, yang normal di tengah, dan orang gila di kiri. Merujuk definisi sanity yang saya paparkan di atas, menurut saya, orang paling hyper-sanity ya para pekerja, petani, atau pebisnis dan semacamnya—mereka terlalu kompeten dalam kehidupan di masyarakat.

Masalah utama dari esai Burton ini adalah penjelasan sanity yang nampaknya tidak diurus dengan baik di awal. Bahkan jika kewarasan itu dimaknai secara kultural (bukam hukum), Burton tetap salah. Beberapa budaya dirasa “gila” oleh budaya lain. Misalnya orang Jawa yang menunduk lewat di depan orang yang lebih tua atau sungkem, bisa jadi dianggap “gila” di barat sana.

Jika menggunakan definisi sanity kultural, maka hyper-sanity juga tidak bermakna. Bagaimana seseorang menjadi terlampau waras dalam sebuah masyarakat-budaya? Apakah budayawan atau leluhur zaman dahulu orang yang hyper-sanity?

Akhir kata, konsep hyper-sanity kurang menjual secara argumentatif. Beberapa implikasinya adalah seakan-akan menganggap semua yang normal tidak lebih waras daripada orang yang hyper-sane. Inilah masalah kalau kita mengambil sebuah istilah dari istilah lain, kemudian di-superior-kan. Ya sudah, pakai istilah “bijak” atau “tercerahkan” saja, lebih cocok dan non-problematis. Dan yang terakhir istilah hyper-sane terdengar sangaat pretensius.

Tinggalkan komentar