Survei Mengenai Prostitusi vs Seks Kasual dalam Kacamata Etika di Lingkungan Mahasiswa ITB

Tulisan ini adalah tulisan tugas mata kuliah Teknik Komunikasi Ilmiah yang dikerjakan karena mengejar deadline sehingga mungkin kualitas terengaruh. Gaya penulisan mungkin berbeda tergantung gaya yang diminta di kelas (ilmiah populer yang untunglah adalah gaya saya). Update (besar-besaran) untuk tulisan ini akan dilakukan di masa depan.


Prostitusi telah menjadi sejarah panjang dalam peradaban umat manusia. Menurut Anne Keegan (1974), prostitusi bahkan dimasukkan ke dalam daftar profesi tertua, sejak awal dari sejarah manusia. Beberapa contoh yang terkenal adalah prostitusi di Roma Kuno yang legal untuk kaum laki-laki dengan status sosial yang tinggi tanpa perlu risau mengenai masalah moralitas dan norma masyarakat (Fischer, 2007). Pada zaman Viktoria Inggris, prostutusi adalah hal yang lumrah dan bahkan esensial dalam masyarakat Viktoria (Walkowitz, 1982). Prostitusi di zaman tersebut umumnya berasal dari kaum kelas pekerja dengan konsumen yang berasal dari kelas menengah ke atas. Beberapa bangsawan tidak menggunakan jasa dari kelas pekerja, namun lebih memilih prostitusi yang kelas yang lebih tinggi (Walkowitz, 1982).

Beberapa masyarakat menganggap prostitusi adalah suatu profesi yang penuh dan sama dengan profesi penyaji jasa pada umumnya, seperti jasa potong rumput, jasa pijat, dan jasa ketik. Namun, masyarakat lain juga melihat prostitusi sebagai suatu dosa yang patut dibasmi, bahkan jikalau bisa dihukum hingga mati (Jenkins, 2018). Beberapa agama juga sering mengecam bahwa prostitusi adalah perbuata yang penuh dosa. Di lain sisi beberapa masyarakat menganggap bahwa prostitusi adalah sebuah ritus kultural yang mempersiapkan gadis muda menuju kedewasaan. Dalam versi termudahnya, prostitusi dapat dikaitkan dengan praktik mas kawin dan mahar dalam pernikahan, yaitu ketika mempelai wanita “dibeli” oleh mempelai pria (Jenkins, 2018). Tentu saja ini adalah salah satu interpretasi mengenai mas kawin, ya… meskipun pada beberapa masyarakat, mas kawin dimaknai sebagai benar-benar membeli seorang perempuan, bukan sekadar formalitas sebagai hadiah kepada mempelai wanita.

Berkebalikan dengan prostitusi, sejarah menganai seks kasual tidak terlalu jelas dan tidak terdokumentasi dengan baik. Umumnya, seks kasual diasosiasikan dengan remaja yang beranjak dewasa dan ingin mengeksplor lebih lanjut seksualitas dan hasratnya. Seks kasual di sini lebih dimaknai dalam relasi nonromantis daripada relasi romantis yang membutuhkan komitmen yang lebih daripada ‘one-night stand’ atau ‘sekali jalan semalam’. Dalam masyarakat modern, seks kasual menjadi pelampiasan bagi kehidupan modern yang penuh dengan tekanan. Hasil penelitian dari Dube et al. (2017) menyatakan bahwa CSRE (Casual Sex Relationships and Experiences) baik untuk kesehatan psikis, mengurangi stress, dan meningkatkan well-beingness dari suatu individu. Meski begitu, masih sama dengan prostitusi, seks kasual juga diancam pada beberapa masyarakat dan agama dan dianggap sebagai pendosa.

Masalahnya, dalam kacamata moral, lebih buruk mana, prostitusi atau seks kasual? Moral apa di sini yang dimaksud? Moral menurut siapa dan menurut budaya atau masyarakat apa? Di sini, definsi dari istilah tersebut diserahkan pada responden. Baiklah, mari kita mulai hasil survei dan wawancaranya. Namun, sebelum ke sana, saya akan menjelaskan bagaimana latar belakang permasalahan ini dan bagaimana dosen saya memberikan tugas ini secara mendadak di jam terakhir!

Penjelasan dari dosen saya cukup simpel. Di Indonesia, PSK sering direndahkan dan dimarjinalkan. “Dih, elu PSK ya? Najis ah!” dan ekspresi lainnya sering diucapkan. Lokalisasi juga sering dibasmi, beberapa diantaranya oleh kaum putih-putih yang sering keliaran ketika bulan ramadhan datang. Lokalisasi sering didemo dan dikecam masyarakat. PSK tidak dianggap ‘full-fledge profession’, serta sering dicap sebagai pembawa penyakit dan manusia berlumuran dosa. Sangat berbeda dengan prostitusi, seks kasual dan seks ekstramarital dianggap lebih “berbudaya dan beradab” dibandingkan prostitusi. Masyarakat seakan sembunyi-sembunyi namun tetap saja bercerita mengenai pengalamannya melakukan hubungan seks bersama pacar atau teman sekampus, yang sering juga disebut sebagai rahasia umum. Penilaian pada perempuan yang melakukan seks kasual juga sangat berbeda dengan penilaian perempuan pada PSK. Kita semua tahu bahwa PSK memasang harga untuk seks, namun mereka malah dilabeli dengan harga diri rendah. Sedangkan, seks kasual yang gratis, nada, free, takberbayar, tidak dikatakan demikian. Apa masalahnya? Manakah yang lebih baik–secara etika–pada kedua pilihan tersebut?Awal

57% responden menjawab prostitusi lebih baik–secara etika–daripada seks kasual, yang hanya mendapat 33% suara responden. Kemudian, sebanyak 10% responden tidak menjawab dan malah menanyakan hal yang sama kepadaku. Benar-benar responden yang tidak bertanggungjawab, jangan ditiru ya.

KasualApa alasan mereka memilih pilihan tersebut? 43% dari responden yang memilih seks kasual menyatakan bahwa mereka memilih seks kasual lebih baik daripada prostitusi karena seks kasual mengurangi kemungkinan terjadinya persebaran STD (Sexual Transmitted Disease). Kita tahu bahwa prostitusi memiliki frekuensi pergantian pasangan seks yang lebih sering daripada seks kasual, sehingga risiko persebaran STD menjadi lebih besar. Apalagi lokalisasinya kumuh dan tidak memiliki tes bulanan STD pada pekerjanya. Kemudian, 15% responden memilih alasan ekslusifitas pasangan. Eksklusifitas pasangan di sini berarti bahwa pasangan yang tetap dan takterganti (monogami) secara etika, inherently, lebih baik daripada bergonta-ganti pasangan, apalagi dengan cara membayar. Kemudian 14% responden menjawab karena gratis. Hal ini tidak perlu saya jelaskan kembali. Lalu, 14% lain menjawab mengurangi kemungkinan terjadinya human trafficking yang memang marak terjadi di skena prostitusi di Indonesia. Di iklan tertulis lowongan jadi pembantu rumah tangga, eh, kok malah ditarik jadi PSK. Duh, duh… 14% lain responden menjawab bahwa menjual diri untuk hal komersil memang tidak sesuai moral.

Prostitusi34% responden memilih prostitusi sebagai suatu profesi yang full-fledge menjadi alasan terbanyak untuk memilih prostitusi lebih baik daripada seks kasual. Profesi yang full-fledge merupakan profesi yang dipandang sederajat dalam kategori apapun dengan profesi lainnya. Ya, gampangnya PSK dianggap sebagai profesi penyedia jasa, seperti tukang las, tukang potong rumput dan guru. Jika kita menyalahkan profesi PSK, berarti kita juga turut menyalahkan profesi penyedia jasa lainnya. Hal ini tentu absurd. 25% responden menjawab bahwa dengan memilih prostitusi, kita mampu membantu perekonomian PSK karena kita tahu bahwa mayoritas PSK di Indoensai ada karena alasan ekonomi. 25% yang lain menjawab bahwa mengurangi kemunkinan terjadinya hamil di luar nikah karena PSK lebih tahu akan pekerjaanya (berhubungan seks) daripada orang biasa. Lalu, 8% menjawab kontrol sosial pada masyarakat untuk mengurangi frekuensi sexual abuse. Prostitusi hadir sebagai wadah untuk menyalurkan hasrat seksual masyarakat sehingga dapat tersalurkan dengan legal dan benar pada tempatnya. 1% responden menjawab untuk meningkatkan roda perekonomian.

Referensi

Dubé, S., Lavoie, F., Blais, M., & Hébert, M. (2017). Consequences of Casual Sex Relationships and Experiences on Adolescents’ Psychological Well-Being: A Prospective Study. Journal of Sex Research, 54(8), 1006–1017. http://doi.org/10.1080/00224499.2016.1255874

Fisher, Michael H. (2007), “Excluding and Including “Natives of India”: Early-Nineteenth-Century British-Indian Race Relations in Britain”, Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East, 27 (2): 303–314 [304–05], doi:10.1215/1089201x-2007-007

John Phillip Jenkins. (2018). Prostitution. Encyclopaedia of Britannica. Retrieved from https://www.britannica.com/topic/prostitution

Keegan, Anne (1974). “World’s oldest profession has the night off,” Chicago Tribune, July 10. New World Encyclopedia

Walkowitz, J. R. (1982). Prostitution and Victorian society: Women, class, and the state. Cambridge University Press.


Sumber gambar: https://yougov.co.uk/news/2015/08/13/majority-support-decriminalising-prostitution/

2 tanggapan untuk “Survei Mengenai Prostitusi vs Seks Kasual dalam Kacamata Etika di Lingkungan Mahasiswa ITB

    1. Di ITB, Bandung. Polling tentu saja mungkin terjadi bias berdasarkan preferensi lingkup pertemanan yang saya wawancarai meskipun sebenarnya saya sudah berusaha untuk seacak mungkin.

      Suka

Tinggalkan komentar