Kelana Haryo Agung – Haryo dan Bukit

Mata Haryo semakin bengkak. Ia berjalan tertatih-tatih di dalam hutan. Matahari mulai menyingkir dari ufuk. Langit memperlihatkan mukanya yang lain. Burung-burung Wiwik dan Prenjak bersaut-sautan mewarnai lantai hutan. Angin dari barat berhembus kencang. Haryo merasakan sakit luar biasa di mata kanannya. Ia meraba dengan pelan wajahnya. Gumpalan yang besar! Haryo menyadarinya. Ia tahu bahwa matanya berada dalam masalah yang benar-benar serius.

Hanya tersisa beberapa awan berwarna merah saja di ufuk barat. Itu pun berangsur untuk bersegera sembunyi di balik selimut hitam. Bagian langit yang lain benar-benar gelap. Lantai hutan lebih gelap daripada itu. Benar-benar seperti malam yang gulita. Pohon-pohon Mahoni tentu tumbuh dengan baik di kaki gunung ini. Namun, tidak bagi Haryo. Dengan keadaan matanya yang bengkak, ia berusaha mati-matian untuk memanjat tanjakan di kaki gunung. Lantai hutan yang licin dan akar pohon yang besar menjadi penghalang bagi Haryo. Haryo sadar betul bahwa ia dapat tersungkur ke bawah kapan saja. Tiap ada batang pohon yang nyaman, ia akan genggam.

Saat ini tidak ada satupun awan yang berwarna. Semuanya monokrom. Bulan juga tampaknya sedang tidak bersemangat untuk bersinar penuh. Malam menjadi gelap gulita. Benar-benar gelap. Suara jangkrik terdengar keras, sangat keras hingga memekakkan telinga. Agaknya ironi, karena suara jangkrik kerap diasosiasikan dengan kesunyian. Langkah Haryo semakin pendek. Nafasnya berat. Ia seakan-akan baru saja berlari maraton dan beberapa menit lagi mencapai garis akhir. Haryo juga demikian. Tinggal beberapa meter lagi tanjakan ini selesai, dan seharusnya ia akan melihat sebuah desa di bawah puncak bukit itu.

Haryo telah sampai puncak. Ia benar bahagia. Dari sini, di tempat yang tinggi ini, Haryo memandang sebuah desa di bawah. Desa yang kecil. Setidaknya terdapat peradaban, pikir Haryo. Dengan semangat yang telah terisi kembali, Haryo melangkahkan kakinya menuruni bukit. Akan tetapi, akar Mahoni menghalangi kaki kanan Haryo, mempelantingkan tubuh Haryo ke depan, menuruni bukit. Ia terbentur batu, akar pohon, semak-belukar, dan ranting pohon. Sesekali lumpur menciprati tubuhnya. Haryo kehilangan arah. Kepalanya pusing karena benturan batu besar. Cairan kental mengalir pelan di wajahnya. Darah. Sepertinya itu darah!

Haryo berusaha untuk bangun, tetapi benturan keras di tempat yang terjal telah mematahkan setidaknya satu atau dua tulang Haryo. Tangan kanan Haryo bergerak pelan meraba-raba tanah dan apa-apa saja yang ada di sekitarnya. Becek, dan basah, dengan genangan air dan batu kerikil kecil. Ia berusaha untuk bangun lagi. Sia-sia belaka. Haryo tak mampu menahan beratnya tubuh, apalagi dengan keadaan luka yang cukup berat. Kepala Haryo terasa berat. Pikirannya melayang. Ia semakin hilang kendali akan kesadarannya.

Darah semakin banyak mengalir dari wajahnya. Ia mencoba meraba wajahnya dengan tenaga yang tersisa. Mata kanannya berdarah! Bengkak yang menonjol dan besar rupanya telah menghantam batu atau ranting pohon yang tajam. Haryo berada di ujung kesadarannya. Ia tak kuasa menahannya. Malam itu, di malam yang sunyi, gulita, dan dingin, Haryo tertidur.


Kelana Haryo Agung | Bab 2 – Haryo dan Bukit

Baca semua bab Kelana Haryo Agung di sini

Sumber gambar

Satu tanggapan untuk “Kelana Haryo Agung – Haryo dan Bukit

Tinggalkan komentar