Di Kala Anda Menanak Nasi

Ketika Adit memasak nasi, aku teringat dengan pesan ibu untuk tidak menyalakan televisi meskipun hari telah malam. Bukan perkara gampang untuk melaksanakan perintah ibu, apalagi keadaan uang sedang tidak menentu, air keran mampat, dan kecepatan internet naik turun. Adik sama pula, dia sering membolos sekolah. Umm… aku dulu juga pernah bolos sekolah sih, hehe. Tetapi, begini-begini aku pernah mempelajari luas taman kota Bandung yang berkorelasi dengan tingkat kriminalitas desa Wisanggeni. Itu kata seminar di universitas terkemuka tahun lalu. Aku sendiri tidak mengerti ketika Bu Ani, dosen mata kuliah etnografi, menjelaskan pengaruh taman kota dan budaya literasi di Indonesia. Kita memang perlu banyak buku, tetapi kemauan membaca lebih penting. Ajarkan anak untuk senang membaca meskipun mereka telat makan nasi, Bapak, Ibu. Nasi bukan segalanya, tahu tidak? Kita bisa makan roti, jagung, ubi, atau kentang. Ubi direbus, jagung dibakar, kentang dapat digiling. Pengolahan makanan yang nikmat membuat anak semakin lahap. Tidak perlu suplemen, toh. Suplemen mahal. Terakhir aku beli di apotek seharga dua kilo daging sapi impor berwarna merah dengan identitas berupa etiket tenderloin, terpasang rapi di bawah rak lemari supermarket. Kirana memang pandai memasak steak tenderloin. Lihai dan cekatan di dapur, tetapi juga memuaskan di kamar. Tenang saja, Bapak, Ibu. Kirana itu nama istriku. Aku bertemu dengan Kirana di sebuah perhelatan akbar di bilangan Gading Serpong dan Gading Gajah. Tepatnya di gedung serbaguna, ketika pameran buku dilaksanakan, Kirana memandangi Das Kapital. Aduhai, cantik dan progresif. Nikmat mana yang kamu dustakan, Bapak, Ibu. Langsung saja Kirana aku lamar, meski cukup susah, lantaran ayah Kirana suka bertanya tidak jelas kepadaku ketika aku melamar Kirana a la wawancara oleh HRD, begitu. CV tidak lupa aku bawa. Pengalaman organisasi jangan ditanya, Bapak, Ibu. Menjadi presiden BEM kampus tentu membanggakan. Aku juga pernah memimpin prosesi doa bersama saat jamuan hari raya Idulfitri di rumah Pak Rektor. Lumayan lah, makan gratis. Dapat sertifikat pula, warnanya kuning. Ketika Rom melukis senja, aku kelupaan membawa cat kuning, akhirnya Rom menggunakan sertifikatku tadi. Dia mencampurnya dengan cairan khusus pelarut tinta printer epson. Lima hari kemudian, Rom merampungkan lukisannya. Indah sekali, bagai mentari yang tergelincir kala senja menyambut, burung-burung terbang bergantian menyisiri awan kumulus yang bermuka masam. Hujan pasti datang, pikirku. Naas, jemuranku belum aku ambil. Aduh biyung, besok ada upacara kemerdekaan. Bagaimana jika seragamku basa? Apalagi aku terpilih menjadi pemandu acara. Ini tidak bisa dibiarkan. Hujan bukan halangan. Pakaian bisa meminjam. Itu lah moto aku. Praktis, bukan? Sekarang masalahnya, meminjam pada siapa? Aku tertegun selama satu jam memikirkan itu sebelum akhirnya kebingungan sendiri dan memutuskan untuk membeli susu beserta kopi hitam demi pemenuhan hasrat dan nafsu. Kopi dapat mencairkan pikiran, katanya begitu. Dengan sepeda aku bergegas ke supermarket. Tapi, supermarket yang mana? Aku benar-benar kebingungan. Ini menjadi masalah, Bapak, Ibu. Jarak antar dua supermarket terlalu dekat. Seperti jarak antara dua garis singgung dalam lingkaran dan elips. Persamaannya aku kurang tahu, tetapi teman saya tahu. Dia juara OSN Matematika. Namanya Adit. Sekarang, nasi sudah matang.


Sumber gambar: http://bsnscb.com/rice-wallpapers/38715496.html

Satu tanggapan untuk “Di Kala Anda Menanak Nasi

Tinggalkan komentar